Rasa haus yang saya alami pada siang itu (05/06/09) begitu menyiksa tenggorokan saya. Maklum, pada siang yang panas itu saya berputar-putar keliling Kota Jepara untuk memotret obyek-obyek berupa monumen yang menjadi ikon Jepara yang saya rencanakan akan saya pasang di media Majalah Dinding (mading) pada lomba JUMBARA 22 Juni nanti. Dengan berbekal kamera poket dan sepeda motor pinjaman M. Rosyadi (20), saya memotret satu per satu obyek yang menarik. Mulai dari Patung relief orang mengukir yang ada di Desa Mulyoharjo, kemudian Tugu Sentra Kerajinan Ukir dan Patung yang juga terletak pada desa yang sama.

Setelah hunting gambar, saya menyempatkan diri keliling alun-alun Jepara untuk melihat-lihat sejenak. Karena rasa haus sudah tidak tertahan lagi, dan kebetulan kedua bola mata saya tertuju pada dua buah keranjang yang di atasnya terdapat hiasan Gareng dan Semar. Saya sudah berani memastikan bahwa itu pasti penjual dawet ayu, dawet khas Banjarnegara. Dan dugaanku tidaklah keliru.

Saya memutuskan untuk berhenti dan memarkir sepeda motor saya. Tanpa ba bi bu, telunjuk tangan kanan saya mengacung ke atas sebagai isyarat agar dibuatkan 1 gelas dawet. Cukup manis dan lezat tapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa dahagaku yang "tidak kenal ampun" tadi. Dengan pede, saya memesan 1 gelas lagi. Untuk gelas yang kedua, rasa haus saya sudah sedikit terobati.

Khas Banjarnegara

Adalah Hanif (28), bapak dari seorang putri datang dari Banjarnegara ke Jepara 3 tahun lalu berharap dapat mengadu nasib dengan berjualan dawet khas Banjarnegara. Letaknya yang cukup strategis, yaitu persis di depan Saudara Swalayan Jepara sehingga menjadikan dagangan Hanif laku keras.

Dalam perbincangan hangat dengan EMHA POS, dia mengaku bahwa berjualan minuman dawet di Jepara cukup menjanjikan. "Lumayan, mas. kalau di sana (Banjarnegara - red) banyak saingannya," jelasnya. Hanif menambahkan bahwa walaupun harga 1 gelas besar dawet di Jepara hanya Rp 1.500 dan kalau di kota asalnya bisa mencapai Rp 3.000, tapi menjajakan dagangannya di Jepara lebih cepat lakunya.

Hanif juga menjelaskan mengapa terjadi perbedaan harga antara di Jepara dengan daerahnya. "Kalau di Banjar (Banjarnegara - red), bahan baku berupa gula sawit dan gula aren cukup langka, makanya harganya sedikit lebih mahal," katanya.

Falsafah Semar dan Gareng

Ada hal yang membuat saya terus bertanya-tanya mengapa dawet Banjarnegara selalu identik dengan Semar dan Gareng. Dari mulut pria sedang tersebut diperoleh keterangan, bahwa ternyata menurut cerita turun-temurun yang berkembang di Banjarnegara, nama nama Semar dan Gareng bila dipadukan akan menjadi "mareng". "kalau menurut mbah-mbah saya, kata 'mareng' itu artinya kemarau panjang," jelasnya. Saya pun makin terusik dengan penjelasan tersebut dan saya pun mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Diungkapkan bahwa seorang pedagang dawet Banjarnegara selalu berharap agar setiap hari terjadi musim kemarau sepanjang tahun. Tentu tidak dalam arti sesungguhnya melainkan punya harapan agar setiap hari para pembeli terus datang.

Sudah habis dua gelas, saya bermaksud beranjak dari tempat duduk saya dan kembali ke kampus INISNU Jepara karena sepedanya sudah ditunggu oleh Rosyadi. Namun malang saya, uang saya terjatuh di jalan saat saya memotret obyek. Dengan uang yang tertinggal di kantong saku hanya Rp 2.000 saya menyerahkan uang tersebut dengan sedikit malu dan tentunya kesal. Itu berarti, saya berhutang Rp 1.000 dengan Hanif.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails